I.
Pendahuluan
Berdasarkan data Badan Pusat stasitik
Pusat (BPS) per Maret 2006 lalu, jumlah Penduduk miskin di Indonesia tercatat
sebesar 39,05 juta jiwa atau 17,75 persen dari jumlah Penduduk. Sedangkan angka pengangguran terbuka
sebesar 10,9 juta jiwa atau 10,3 persen dari total angkatan kerja (data BPS
Agustus 2006). Kondisi ini kian menguat dengan masih terbatasnya berbagai akses
pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan, dan permukiman, infrastruktur,
permodalan atau kredit, serta informasi bagi masyarakat miskin. Demikian juga,
masih terdapat banyak kawasan kumuh dan kantong-kantong kemiskinan di
perkotaan. (Gemari : 57).
Hidup
miskin itu memang tidak enak. Dengan kemiskinan, gerakan kita akan terbatas.
Betapa banyak kejahatan yang akarnya adalah kemiskinan. Sering kita jumpai
orang nekad mencuri hanya karena tidak memiliki uang untuk membeli makanan.
Wanita menjajakan diri sebagai akibat himpitan ekonomi. Orang menjambret karena
ingin membeli susu untuk bayinya. Anak-anak kecil mengamen naik turun bus kota
karena penghasilan orang tua mereka tidak cukup untuk menutup kebutuhan
sehari-hari. Jangankan mengurus pendidikan, untuk makan sehari-hari saja mereka
harus memeras tenaga sedemikian rupa. Pendek kata, Tuhan pun bisa mereka ‘jual’
untuk sekedar menambal kebutuhan perut.
Dengan
kemiskinan, maka amalan-amalan kita menjadi sangat terbatas. Memang, kita bisa
melakukan amalan dengan apa saja yang ada pada kita, baik pikiran maupun
tenaga. Tetapi bukankah akan
lebih baik jika harta kita juga ikut mengisi amalan-amalan kita? Melakukan amalan dengan harta, tanpa
mengecilkan amalan tenaga dan pikiran, lebih kelihatan dampak segeranya. Contoh
sederhananya, apa yang akan kita lakukan jika kita ingin beramal pada orang
yang tengah kelaparan? Apakah kita akan menyumbangkan tenaga dan pikiran saja?
Tentu tidak. Karena yang mereka butuhkan saat itu adalah makanan, yang bisa
segera kita dapatkan jika kita mempunyai uang.
Lalu
bagaimana caranya agar kita bisa terbebas dari kemiskinan? Jawabannya adalah
berusaha membebaskan diri dari belenggu itu. Jika kita sudah berusaha tetapi
kita tetap tidak berubah, tentu ada yang salah dengan cara berusaha itu. Apa
yang salah? Kemungkinan karena kita tidak bisa menangkap peluang usaha secara
cermat, kita kurang serius dalam menggali bakat kita, atau kita kurang cepat
belajar memahami sesuatu, kurang sabar menghadapi kegagalan dan satu hal yang
penting, kurangnya kita berserah diri pada Allah. (Masfuk : 9).
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah (nasib)
suatu kaum, hingga mereka mengubahnya sendiri (Al-Qur’an).
Aku berdiri di pintu Surga, ternyata yang paling
banyak masuk Surga adalah orang-orang miskin. Adapun orang-orang kaya masih
tertunda (masuk Surga). Sementara itu penghuni neraka sudah di perintahkan
masuk ke dalam neraka (H.R. Bukhori Muslim).
II. Ujian Hidup
Sebenarnya, kemiskinan selalu
berpasangan erat dengan kekayaan, dua sejoli yang menjadi sunnatullah. Tercipta
menjadi batu ujian bagi setiap hamba, yang dengannya akan nampak siapakah
diantara hamba-Nya yang paling benar keimanannya, yakni bersabar.
Dalam firman-Nya, Allah mengatakan,
“Dan
sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada
orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila di timpa musibah,
mereka mengucapkan, Inna lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. (Al-Baqarah :
155-156).
Bagaimana Allah SWT menjadikan
keku-rangan harta sebagai bagian dari bala’ yang menguji manusia. Dan bagaimana pula Allah SWT menisbatkan
ujian tersebut dari diri-Nya dalam firman-Nya, “Sesungguhnya kami akan menguji
kalian.”
Kemudian
perlu kita renungkan pula bagaimana Allah menyebut kekurangan harta sebagai musibah,
dan Dia memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar dalam
menerima ujian kemiskinan dan kekurangan tersebut. Dia pun mengajarkan kepada
mereka adab kesabaran berupa istirja’ (mengembalikan urusan kepada Allah SWT dengan
mengucap Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un) dan menjanjikan bagi mereka
rahmat dan kesejahteraan.
Allah SWT mencipta
kita dengan terlahir di dunia fana ini. Namun kadang kita terhalang untuk mendapatkan kelezatan substasinya. Itu
semua tidak lain hanya untuk menguji kadar keimanan kita dan agar di ketahui
bagaimana sikap kita, apakah kita menggerutu dan ingkar atau sebaliknya,
bersikap rela dan sabar terhadap ketetapan Allah tersebut.
Perlu kita
ingat, bahwa semua orang di muka bumi ini sedang diuji, orang miskin diuji
dengan kemiskinannya, orang kaya diuji dengan kekayaannya, orang sehat diuji
dengan kesehatannya, dan seterusnya. Manakala Allah memuliakan Nabi Sulaiman As
dengan harta dan Kerajaan maka Beliau berkata, “Ini adalah keutamaan dari
Rabbku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur ataukah justru kafir.”
III. Sebab - Sebab Kemiskinan
1.
Lemah dan Malas
Penyakit lemah dan malas terkadang
menjadi salah satu sebab dari kemiskinan bagi seorang.
Karena Allah SWT menciptakan manusia
dalam keadaan memiliki potensi untuk berusaha dan bekerja, serta diberi
kemampuan untuk berjuang mencari rezeki. Karenanya Dia berfirman, artinya,
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia
berada dalam susah payah.”
Susah payah
mengharuskan seseorang untuk berusaha, bekerja keras dan berjuang untuk
memperoleh rezeki dan keberkahan.
2.
Dosa dan Maksiat
Sekali lagi, kemiskinan dan
kemelaratan merupakan bagian dari musibah, yang terkadang disebabkan karena
kemaksiatan sebagaimana musibah lain pada umumnya. Allah SWT berfirman,
artinya,
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh
perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu).” (Ast Syura : 30)
Terhalangnya seseorang dari rezeki
mungkin dengan lenyapnya rezeki tersebut, atau berkurang jumlahnya, atau tidak
memberinya manfaat sehingga meskipun harta yang dimiliki sangat banyak, namun
justru menjadi bencana baginya.
Karenanya, selayaknya masing-masing
kita bermuhasabah (memperhatikan dan instropeksi diri) seberapa banyak telah
melakukan dosa, menyia-nyiakan shalat, kurang takut kepada Allah SWT, memutus
tali silaturrahim dengan kerabat, buruk dalam pergaulan dengan sesama muslim
dan sederet dosa lain. Kalaulah kita menyadari, maka sungguh tidak ada seorang
pun di antara kita yang lepas dari berbuat dosa, sebagaimana sabda Nabi SAW, “Seluruh bani Adam banyak berbuat salah, dan
sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat.” (Riwayat
At-Tirmidzi).
3.
Wujud Penjagaan-Nya
Allah SWT itu Maha Tahu, boleh jadi
jika seorang hamba diberi kekayaan, justru akan menjadikannya celaka di dunia
dan di akhirat, atau dengan rezeki tersebut mengakibatkan hamba semakin jauh
dari-Nya dan akan menjadi kan dia sombong serta besar kepala yang berakibat
pada turunnya siksa dan bencana. Rasulullah SAW, bersabda,
“Sesungguhnya Allah SWT menjaga hamba-Nya yang beriman dari dunia
ini, padahal Dia mencintainya. Sebagaimana kalian semua berhati-hati
(menjaga) orang sakit dalam memberi makan dan minum, karena khawatir
terhadapnya.” (Riwayat Ahmad).
4. Bentuk Ketetapan Allah
Termasuk besarnya
kemuliaan dan kemurahan Allah adalah Dia memuliakan hamba-Nya sebelum hamba itu
melakukan suatu prestasi, dan Dia telah menulis untuk seorang hamba satu
kedudukan yang tidak mungkin hamba tersebut mencapainya hanya dengan amal
perbuatannya. Sehingga dia
memberikan kebaikan dengan cara mengujinya, baik itu dalam harta, anak atau
badannya. Nabi Muhammad bersabda,
“Sesungguhnya jika seorang hamba telah
ditulis baginya satu kedudukan yang tidak mampu dia capai dengan amalnya, maka
Allah mengujinya didalam harta atau badan atau anaknya.” (Riwayat Abu
Dawud)
Dan kedudukan yang
tinggi hanya dicapai oleh seorang mukmin. Maka ketika ada seseorang dating kepada Nabi
Muhammad dan berkata, “Sesungguh aku
mencintaimu. “Maka Nabi Muhammad menjawab, “Siapkan dirimu menjadi orang miskin”
IV. Kemiskinana dalam bingkai
solusi
Banyak orang tak mengetahui apa yang
mesti diperbuat oleh orang yang tertimpa ujian dan coba berupa kemiskinan.
Padahal kemiskinan sendiri merupakan bala’ (ujian) yang sejatinya akan menjadi
nikmat bagi hamba, apabila ia mau melakukan hal-hal berikut ini :
a.
Berlindung kepada Allah SWT
darinya
Dan memohon kepada Allah SWT agar
diberikan kecukupan dan penjagaan kehormatan, berdasarkan keumuman dalil yang
menunjukkan disyariatkannya berlindung kepada Allah SWT dari bala’. Dan juga karena Nabi SAW telah berlindung
kepada Allah SWT dari kemiskinan serta memerintahkan hal itu. Beliau bersabda :
Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu
dari kekufuran dan kemiskinan dan aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur,
tidak ada illah yang berhak disembah selain Engkau.” Beliau juga bersabda,
“Berlindunglah kalian kepada Allah dari kemiskinan, kekurangan,
kehinaan dan dari berbuat dzalim atau dizalimi.”
b.
Rela terhadap ketetapan Allah SWT.
Apabila seorang muslim tertimpa
kemiskinan atau kekurangan harta maka hendaklah dia bersabar dan rela dengan
takdir Allah SWT menciptakan kemiskinan melainkan hanya untuk memilah dan
menguji para hamba.
Walhasil, kemiskinan akan berbuah
menjadi nikmat apabila kita dapat mensyukuri dan berlapang dada terhadap
ketetapan-Nya. Pun dapat
menjadi bala’ (musibah) ketika kemiskinan tersebut menjadikan kita sebagai
orang yang tidak ridha dan ingkar terhadap ketetapan Allah.
0 komentar:
Posting Komentar